ACHIRIN NISA MUFARISA

HAMBAMU

Photobucket
BLOG INI SENGAJA SAYA BUAT UNTUK MEMENUHI TUGAS SEKOLAH DAN UNTUK MENAMBAH PENGETAHUAN, Terima kasih. By: Achirin Nisa Mufarisa

Selasa, 31 Mei 2011

Para Sufi

Al Hallaj

Nama lengkapnya adalah Abdul Muqith Al-Husain Bin Mansur Al-Hallaj, beliau lahir di Baidha (Persia), pada tahun 244 H, dan meninggal di Baghdag pada 309H. Beliau meninggal karena di jatuhi hukuman mati oleh pemerintahan dinasti Abbasyah, karena ajaran tasawufnya di anggap menyimpang dari hukum syar’I dan dapat mengganggu ketentraman masyarakat. Pendapatnya yang dianggap menyimpang adalah, Allah menjelmakan dirinya pada pribadi nabi Muhamad, semua agama yang ada di dunia ini adalah agam Allah dan seseorang yang bersih hatinya tentu dapat melaksanakan haji batin.

Riwayat Syaikh Jalaludin Rumi

Jalaludin Rumi

ulama dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota Balkh tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini wilayah Afganistan. Ia Putra Bahauddin Walad, perbedaan pendapat antara Sultan dan Walad. Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di situ kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru bahasa Arab yang tersohor.

Tak lama di Damakus, keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia Tengah, atas permintaan Sultan Seljuk Alauddin Kaykobad. Jalaludin Rumi adalah seorang teolog yang kemudian karena suatu peristiwa spiritual yang kemudian mengubahnya menjadi seorang penyair mistis.

Karya

Kumpulan puisi Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio.
Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai.
Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide.
Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang tampaknya berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik. Beberapa tokoh sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, namun ia menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang mencapai ma’rifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi.
karyanya yang paling terkenal adalah :
jangan tanya apa agamaku. aku bukan yahudi. bukan zoroaster. bukan pula islam. karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku.

Syaqran Bin Abdillah

SYAQRAN BIN ABDILLAH AL-MAGHRIBI
Termasuk Salah seorang ahli tasawuf yang besar dan termasyhur. Salah satu muridanya yang terkenal adalah Dzun nun al – mishri, Syekh Syaqran meninggal di mesir dan di makamkan di pemakaman Al-Qirafah dekat makam Uqbah Bn amir Ra.
Menurut riwayat ketika Dzun nun mendengar bahwa ada seorang ulama besar di kawasan Maghribi Dzun nun lantas mendatangunya, setelah tiba di depan rumah nya, Dzun bertanya kepada seseorang yg di temuinya, apakah bisa dia bertemu dengan Syaikh, orang tersebut menjawab bahwa Syaikh baru saja masuk ke tempatnya berkhalwat dan tidak akan keluar dari sana kecuali hari Jum’at, setelah itu juga di jelaskan bahwa Syaikh tidak akan berbicara pada siapapun kecuali setelah empat puluh hari. Terpakas Dzun-nun duduk di depan pintu tempat beliau berkhalwat selama empat puluh hari, menunggu sampai syaikh Syaqran keluar dan berkenan untuk berbincang-bincang. Tepat pada hari ke empat puluh Syaikh keluar dari kamarnya dan bertanya “Apa yang menyebabkanmu datang ke sini ?”. Dzun- Nun menjawab “aku datang ke sini untuk menemui Syaikh”. Mendengar itu Syaikh Syaqran meletakkan sebuah tulisan kalimat munajat kepada ALLAH SWT di tangan Dzun Nun, “Demi AlLAH aku beruntung sekali mendapatkan ijazah untuk mengamalkan doa tersebut, dengan bacaan do’a tersebut setipa permohonan ku selalu di kabulkan ALLAH SWT.” Kata Dzun nun di kemudian hari.
Karomah dari Syaikh Syaqran yang lain adalah sebagai berikut :
Pada suatu malam Syaikh Syaqran hendak mandi dan bersuci, beliau tidak mendapatkan air, beliau lalu menengadahkan tangannya ke langit seraya berdo’a, “Ya ALLAH aku tk kuasa untuk mendapaykan air segala daya dan upaya telah ku lakukan untuk mendapatkannya dan sekarang hanya mengharapkan padaMu, bukan yang selain Mu”. Sebelum Syaikh selesai berdoa, tiba-tiba terdengan suara air yang di tuangkan kedalam sebuah wadah, dan ketika air tersebut di dapatkannya tersa dingin sekali, Syaikh kemudian membaca sesuatu, dan tak lama air berubah menjadi hangat.
Kaomah yang lainnya, beliau mampu merubah wajahnya yang tampan menjadi jelek, hal ini pernah beliau lakukan untuk menghindari kejaran seorang gadis yang tergila-gila kepadanya, anehnya ketika si gadis berhenti mengejar nya, wajahnya kembali seperti sedia kala (kitab karomatul Auliya).

Ibnu Qudaimah Al-Maqdis

 al-Imam iIbnu Qudaimah al-Maqdisi
Nama lengkap al-Imam ibnu qudamah al-Maqdisi adalah Asy syaikh Muwaffaqudin Abu Muhamad Abdullah bin Ahmad bin Muhamad ibnu Qudamah al-Hanabi al-Almaqdisi. Lahir pada bulan syakban 541 H di desa Jamm’il di daerah Palestina, ketka itu tentara salib enguasai Baitul Maqdis dan daerah sekitarnya. Maka ayah beliau Abul Abbas Ahmad bin Muhamad ibnu Qudamah memutuskan untuk hijrah bersama keluarganya ke damaskus pada tahun 551 H.
Di damaskus mereka singgah di masjid Abu Salih, kemudian setelah dua tahun mereka pindah ke kaki gunung qaisun Damaskus, di masa – masa itu beliau menghafal Al-Qur’an dan menimba ilmu – ilmu dasar kepaa ayahnya Abul Abbas yang seorang ulama mulia.
Kemudian beliau berguru kepada para ulama Damaskus lainnya, ia hafal Mukhtasar Al-Khiraqi (fikih mazhab Imam Ahmad bin Hambal) dan kitab – kitab lainnya.
menginja umur 20 tahun ia pergi ke Baghdad ditemani saudaranya Abdul Ghani al-Maqdisi, beliau semula menetap sebentar di kediaman Syekh Abdul Qadir al-Jaelani di Baghdad, saat itu Syeik sudah berumur 90 tahun, beliau belajar kepada syeikh kitab Mukhtasar al-Khiraqi dengan penuh ketelitian karena beliau telah hapal kitab itu semenjak di Damaskus. Tidak lama berselang syeikh Abdul Qadir al-Jaelani meninggal dunia, selanjutnya belajar kepada Syeikh Nashih al-Islami Abul Fath ibn Manni, beliau belajar mazhab Ahmad dan perbandingan mazhab. Setelah menetap di Baghdad selama 4 tahun beliau pun pulang ke Baghdad pada tahun 576 H, seusai pulang ke Damaskus beliau menyusun kitabnya Al-MughniSyarh Mukhtasar Al-Khiraqi (fikih imam Ahmad bin Hambal).
Banyak santri – santri yang mengaji kepada beliau dan banyak yang menjadi ulama fikh setelah mengaji kepada beliau, diantaranya adalah keponakannya sendiri yang menjadi qadi terkemuka Syeikh Syamsudin Abdurrahman bin Abu Umar.

Habib Al-Ajami

HABIB AL-AJAMI
Habib Muhamad Al-Ajami adalah seorang dari bangsa persia yg menetap di Baghdad, dia merupakan salah seorang tokoh besar dalam ilmu tasawuf serta murid dari ulama tasawuf besar yaitu Hasan Al-Basri, dan beliau pun juga dikenal sebagai salah seorang ahli hadists yang merawikan hadits -hadits dari Hasan Al- Basri , Ibnu sirin dan tokoh tokoh terpercaya lainnya.
Mulanya dia adalah seorang yang banyak berbuat kejahatan, lintah darat, senang berfoya-foya akan tetapi setelah mendapat nasehat dari dalil – dalil dari Hasan Al-Basri dia akhirnya bertaubat, dan beliau menjadi murid sekaligus sahabat dari sang guru besar tasawuf tersebut.
Dikisahkan ketika pada awal permulaan taubatnya dia membuat pengumuman yang berbunyi, “kepada siapa saja yang mengingikan harta benda milik Habib segera datang dan ambilah!”. Mendengan pengumuman itu maka banyak orang yang datang kerumahnya yang terletak di sebuah persimpanga jalan di kota Baghdad untuk meminta hartanya, dan Habib memenuhi janjinya dengan memberikan seluruh hartanya hungga tidak memiliki apa-apa lagi. Meskipun begitu masih ada orang yang datang untuk meminta bagian, dan Habib pun memberikan cadar istrinya sendiri dan bahkan pakaian yang sedang dikenakannya sendiri.

Habib lalu pergi menyepi ke sebuah pertapaan di tepi sungai Eiphrat, di tempat inilah beliau membaktikan diri kepada Allah SWT dengan melakukan banyak ibadah sambil belajar di bawah bimbingan Hasan Al-Basri, dia mempunyai kesulitan dalam menhapal Al-Qur’an oleh karena itu dia di juluki Ajami atau si orang barbar.
Waktu terus berlalu , Habib benar – benar dalam kondisi yang sudah melarat, etapi isterinya tetap menuntut biaya rumah tangga kepadanya, menghadapi hal ini beliau biasanya buru – buru pergi ke tempat menyepi beliau untuk beribadah dan baru pulang ketika malam tiba, repotnya sang isteri menyaka bahwa beliau sedang pergi bekerja dan selalu bertanya dimana sebenarnya engkau bekerja dan kenapa tidak sesuatu pun yang engkau bawa pulang ?
Beliau menjawab,”Aku bekerja kepada yang sangat Pemurah sedemikian Pemurahnya Dia sehingga aku merasa malu untuk meminta sesuatu ke padaNya, apabila sudah tiba saatnya dia pasti akan memberikan bayaran buat kita”. Demikian lah Habib selalu pergi ke tempat nya menyepi untuk beribadah sedang sang isteri selalu menyangka dia sedang bekerja.
Suatu hari Habib merasa kebingungan karena lagi -lagi dia harus pulang kerumah dengan tangan hampa, lam dia termenung memikirkan hal itu. Tanpa sepengetahuan Habib Allah Yang Maha Besar mengutus pesuruh – pesuruhNya untuk datang kerumah Habib dengan membawa berbagai macam barang, ada yang membawa gandum sepemikulan keledai, ad yang membawa seekor domba gemuk yang telah di kuliti, ada yang membawa minyak, madu, rempah – rempah serta aneka macam bumbu, meraka di pimpin oleh seorang pemuda gagah yang membawa sebuah kantung berisi uang sebanyak 300 dirham perak, setibanya di rumah Nabib si pemuda mengetuk pintu, “apakah maksud kalian datang kemari?” tanya isteri Habib setelah membukakanpintu. “Majikan kami telah menyuruh kami untuk mengantarkan barang – barang ini. sampaikanlah kepada Habib, bila dia semakin tekun bekerja, maka upahnya akan dilipatgandakan, “jawab si pemuda.
Begitulah yang terjadi, setelah Habib pulang dengan perasaan gundah karena tidak membawa apa-apa, setelah sampai di rumah tiba-tiba dia mencium aroma harum roti dan aneka masakan, yang semakin membuatnya heran, isterinya menyambut kedatangannya dengan sangat mesra, menghapus keringat di wajahnya, serta bersikap sangat lembut, benar – benar berbeda dari sikapnya yang biasanya. “Wahai suamiku, majikanmu memang benar-benar seorang yang sangat baik dan pemurah, lihatlah, segala sesuatu yang telah di kirimkannya kemari, melaui beberapa orang yang di pimpin oleh seorang pemuda yang sangat gagah berani, si pemuda juga mengatakan bahwa jika engkau semakin tekun bekerja, maka upahnya akan dilipatgandakan,”kata isteri Habib. Mulanya Habib sangat terkejut mendengar penuturan isterinya, dia pun maklum dengan yang sesungguhnya terjadi. Allah SWT telah memenuhi janjinya. Sejak saat itu Habib benar – benar memalingkan wajah dari urusan dunia dan membaktikan dirinya untuk ALLAh SWT semata.
Karomah
Dikisahkan bahwa Habib memiliki sehelai mantel bulu yang selalu dipakainya baik di musim dingin maupun di musim panas, suatu saat ketika Habib hendak bersuci mantel itu dilepaskannya dengan s enaknya dan di lemparka ke hamparan tanah.Tidak beberapa lama kemudian Hasan Basri lewat di tempat itu dan melihat mantel milik Habib, dia pun bergumam, “Dasar Habib si orang barbar, tidak pedu;i harga mantel ini kalau di biarkan saja bisa hilang nanti.”Hasan kemugian berdiri di tempat itu untuk menjaga mantel tersebut, tidak lama berselang Habib pun muncul kembali.
“Wahai imam kaum muslimin, mengapa engkau berdiri di sini?” tegur Habib setelah memberi salam. “Mantel seperti ini tidak boleh di tinggalkan di tempat sembarangan, sebab nanti bisa hilang di ambil orang,
katakan kepada siapa engkau menitipkan mantel ini tadi?” tanya Hasan.
“Kutitipkan pada Allah SWT, yang selanjutnya dia menitipkannya pada mu, jawab Habib.
Dikisahkan pula , pada suatu hari Hasan berkunjung ke rumah Habib, kepadanya Habib menyuguhkan dua potong roti gandum dan sdkit garam, ketika sang tamu sudah bersiap hendak menyantap hidangan itu, seorang pengemis datang dan Habib menyerahkan roti itu pada pengemis tersebut, Hasan terheran-heran, lalu berkata “Habib engkau memang manusia budiman akan tetapi alangkah baiknya jika engkau memiliki sedikit pengetahuan. Engkau mengambil roti yang telah disuguhkan ke ujung hidung tamu, lalu memberikan semuanya kepada seorang pengemis, seharusnya engkau memberikan sebagian ke pengemis dan sebagian kepada tamu mu.”
Mendengar teguran itu Habib tidak memberikan jawaban, tak lama kemudian seorang budak datang membawa sebuah baki, diatas bakitersebut terdapat daging domba pangang, makana yang manis – manis dan uang lima ratus dirham, si budak menyerahkan baki tesebut kepada Habib kemudian Habib membagi – bagikan uang kepada orang – orang miskin sedanmgkan daging domba dan makana lainnya di suguhkan kepada Hasan, ketika Hasan sedang menikmati daging itu Habib berkata kepadanya, “guru engkau memang seorang manusia yang budiman tetapi alangkah baiknya jika engkau memiliki sedikit keyakinan, pengetahuan harus disertai denghan keyakinan.”
Karomah Habib yang lain sebagai berikut, suatu hari seorang wanita tua datang ke rumah habib lalu merebahkan kepalanya dengan sangta memelas, “Aku mempunyai seorang putra yang telah lama pergi meninggalkan ku, aku rtak sanggup lebih lama lagi berpisah dengannya, berdoalah ke pada Allah semoga berkat doamu Allah SWT mengembalikan putra ku kepadaku.” pinta wanita tua itu sambil menangis.
“Apakah engkau memiliki uang?” tanya Habib. “Aku hanya memiliki dua dirham.” Jawabnya. “Berikannlah uangmu kepada orang – orang miskin, nasihat Habib. Setelah wanita tua itu melakukan apa yang di perintahkan, Habib kemudian membaca doa, seusai berdoa dia berkata, “Pulanglah, puteramu sekarang telah pulang dan sedang manantimu.”
Benar apa yang dikatakan habib, ketika wanita tua itu pulang dia melihat sorang pria berdiri di pintu rumahnya, dan ternyata pria itu adalah putranya. wanita tua itu benar – benar gembira dan membawa putranya bertemu Habib, “apa sebenarnya yang telah engkau alami,” tanya Habib pada putra wanita tua itu.
“Aku sedang berada di Kirmani untuk membeli daging, gurukulah yang menyuruhku, ketika aku hendak pulang ke rumah guruku, tiba -tiba bertiuplah angin kencang sekali sehingga tubuhku terbawa terbang. Dalam keadaan panik, terdengar suara tanpa wujud yang mengatakan, “wahai angin demi doa Habib dan dua dirham yang telah di sedekahkan kepada orang miskin, pulangkanlah dia kerumah nya sendiri. Itulah yang tadi aku alami”. Jawab si pemuda.

Al – Mawardi

Al – Mawardi (Ali ibn Muhamad ibn Habib/Abul Hasan) lahir di basyrah pada 64 H/1058M, ia menerima pendidikan pertama kali di
basyrah denganberguru kepada Abul qasim abdul wahid as-samari, seorang ahli hukum mazhab Syafi’i yang terkenal, kemudian pindah ke Baghdad untuk melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusastraan, pada sejumlah ulama, antara lain Abdullah al-Bafi dan Syekh Abdul Hamid al-Isfraini.
Tokoh sufi yang satu ini masyhur dengan julukan al_mawardi, yang merupakan julukan “Mawardi” karena penghidupan keluarganya berasal dari berdagang air mawar.
Karya tulis nya yang terkenal adalah Al-Hakam us-Sultaniyah yang merupakan literatur mengenai politik keagamaan Islam,
Dalam perkembangannya beliau menjadi terkenal sebagai pemikir politik islam yang pertama dan termasuk pada barisan pemikir -pemikir polotik yang terbesar dari abad pertengahan, pada masa pemerintahan Khalifah Makmun ar-Razid beliau diangkat menjadi qadi di istana kerajaan, kemudian meningkat menjadi duta keliling khalifah, kedudukan tertinggi beliau adlah pada masa khalifah Abbasiyah al-Qadir Bailah (391-460 H) sebagai Qa’imam bin Amrillah.
Kenegarawanannya yang arif dan bijaksana menjadikan kewibawaan kekhalifahan di Baghdad kembali bersinar di tengah munculnya raja -raja dari bani seljuk dan buwaihid.
al-Mawardi wafat pada tahun 1058 M sesudah menjalani karier yang cemerlang, sebagai salah satu exponen mazhab Syafi’i.

Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani

SYAIKH ABDUL QADIR AL- JAELANI (Sulthan Al-Auliya)

Riwayat SYAIKH ABDUL QADIR AL- JAELANI
Nama lengkap Syaikh abdul qadir al-jaelani adalah Abu muhamad abdul qadir bin abu shalih  musa bin jankidaous bin musa at-tsani bin bin Abdullah bin musaal-Jun bin Abdullah al-mahdi bin Hassan al-mutsana bin hasan bin ali ra. Bin abu thalib.
Nama ibu nya Syarifah Fatimah binti sayid abdillah ashshuma’I az-zahid bin abi jamaluddin Muhammad bin sayid kamaluddin isa bin alauddin muhamad al-jawad bin sayid ridha bin sayid musa al khadim bin sayid ja’far ash-shadiq bin sayid muhamad al-baqir bin sayid zainal abiding bin sayid al-husain bin sayid ali bin abi thalib ra.
Dilahirkan di Naif, jailan (daerah Iran selatan laut qazwan) tgl 1 ramadhan 470H/1077M, pada pertengahan masa Daulah Abbasiyah IV (bani saljuk turki), masa sejak kecil beliau di didik dalam lingkungan yang mulia, dia digembleng dalam didikan kaum sufi yang hidup serba sederhana lagi ikhlas. Sejak kecil beliau sudah di tinggal sang ayah, kemuliaan nya sudah dapat di lihat semenjak masih kecil, sehingga beliau mendapat julukan Sulthan Al-Auliya (pemimpin para wali).
salah satu kisah yang termshur tentang saikh Al-jaelani adalah ketika beliau hendak berangkat menuntut ilmu ke Baghdad, di riwayatkan bahwa ibunda beliau memberinya uang saku 80 keping uang emas yang di jahit di dalam saku bajunya, ketika hnedak berangkat ibunya berpesan agar dia jujur dan tidak berdusta dalam keadaan apapun, ia mematuhi nasehat ibunya, di tengah perjalanan sesampainya di Hamadan rombongan syaikh Al-jaelani di hadang oleh gerombolan perampok, semua harta rombongan tersebut, diambil oleh ara perampok itu akan tetapi  tidak dengan Syaikh Al-jaelani, karena penampilan beliau yang sederhana para perampok tidak yakin dia membawa harta yang banyak, akan tetapi ada salah satu permapok yang iseng bertanya kepada beliau, apakah dia membawa uang, beliau menjawab dengan jujur bahwa beliau membawa 80 keping uang emas di bajunya, tentu saja perampok tsb heran dengan kejujuran beliau, syaikh Al-jaelani lalu bercerita bahwa dia mendapat pesan dari sang ibu agar selalu jujur dalam keadaan apapun, dan jika berdusta maka Ilmunya tidak akan bermanfaat, mendengar kejujuran beliau konon gerombolan perampok tsb tersungkur jatuh ke kaki beliau dan pemimpinnya menjadi murid beliau yang pertama.
Syaik abdul qadir Al-jaelani wafat pada 11 Rabiul akhir 561H/1166M dalam usia yg ke 91th.

KEPRIBADIAN SYAIKH ABDUL QADIR AL- JAELANI
Banyak suri tauladan yang bisa diambil dari kepribadian beliau, karena Syaikh Al-Jaelani mempunyai kepribadian yang agung, sangat rendah hati dan mulia,
Imam al-Isybili berkomentar bahwa Syaikh Al-Jaelani merupakan figure yang berwibawa, cepat menangis arena ingat ALLAH dalam berzikir, lembut hati, dermawan dalam ilmunya, serta luhur budinya.
Pembantunya, Abu Abdilah muhamad bin abdul fatah al-harawi bercerita :
“Saya membantu syaikh selam 40 tahun, bila ia shalat subuh ia menggunakan wudhu shlat isya, jika ia berhadast ia segera berwudhu dan shalat sunnah dua rakaat, setelah shalat isya ia berkhalwat dan tidak ada seorangpun yang dapat mengganggunya hingga terbit fajar, beberpa kali khalifah dating ke rumahnya namunselalu tidak berhasil bertemu.”
Yang sangat menarik lagi tentang beliau adalah dia tidak pernah mau mencari muka terhadap kaum elite, bai orang kaya atau pejabat kerajaan, selalu jika ada khalifah yang datang, ditinggal untuk berkhalwat.
Di ceritakan bahwa suatu ketika seorang khalifah Abbasyah (555-566H), datang  ke rumah beliau, ia meminta sesuatu yang bisa menentramkan hati nya yaitu meminta buah apel yang langka di Iraq,. Lalu SYAIKH ABDUL QADIR AL- JAELANI menengadahkan tangan dan memohon kepada ALAH, dalam sekejap di tangannya memegang dua buah apel, maka di berikanlah satu untuk kalifah dansatu untukbeliau sendiri, setelah di kupas apel yang di pegang oleh syaikh berbau harum dan manis, tetapi anehnya apel milik Khalifah berbau busuk, sang khalfah pun bertanya, kenapa begini wahai syaikh?? Syaikh Al-Jaelani menjawab bahwa,” ia busuk dan berbau karena di jamah oleh tangan yang dzalim dan ia harum karena dijamah oleh tangan seorang waliAllah.” Sejak saat itu Khliafah pun bertobat dan menjadi pengikut beliau.
Ketika Khalifah al-Muktadi Liamrillah (467 – 487 H) mengangkat Abul wafa yahya bin said bin yahya al-Mudhafar untuk menjadi hakim (qadhi) Al-Jaelani menyerang habis-habisan dalam ceramahnya, “Kamu menjadi penguasa atas kaum muslimin dengan cara zalim, bagaimana tanggung jawab mu di akhirat kelak?”. Khalifah pun mendadak menangis dan seketika itu juga Abul wafa di pecatnya.

Ajaran dan Pemikiran SYAIKH ABDUL QADIR AL- JAELANI.
Syaiikh Al- jaelani sangat tegas dalam menentang para pembesar kerajaan dan orang-orang yang menumpuk harta dengan cara yang illegal, korup :
“Kamu bersandar kepada dirimu dan semua cpada harta kekayaanmu, setiap orang yang kamu sandari adalah rusak(fana), setiap ornga yang kamu takuti dan jamu harapkan juga rusak (fana), dan setiap orng yang kamu lihatdalam keadaan bahagia juga rusak.”
“Wahai hati yang mati wahai orang yang musyrik wahai para penyembah berhala, penyembah kehidupan dan harta!, pengabdi para sultan kerajaan! Ketahuilah, mereka itu ditutupi oleh ALLAH Azza wa Jalla. Barang siapa menganggap bahwa bahagia dan nestapa dari selain ALLAH maka mereka bukan Hamba-Nya.”
Mengenai konsep tauhid dalam wacananya beliau menuturkan :
“Ikutilah sunnah rasul dengan penuh keimanan, dan jangan membuat bid’ah, patuhilah selalu Allah dan rasul-Nya, jangan melanggar, junjung tinggilah tauhid, dan jangan menyekutukan-Nya,.”
“Sungguh tiada sesuatau selain Allah sedang dirimu adalah tandanya, kedirian manusia bertentangan dengan Allah. Segala sesuatu patuh kepada Allah dan milik Allah, demikian pula dengan kedirian manusia sebagai mahkluk sekaligus milik-Nya.”
Syaikh Al-Jaelani sangat menekankan pencarian harta secara halaldan enghargai etosa kerja manusia serta menolak sikap bermalas-malasan seperti yang dituturkannya ;
“Celakalah kamu ! harta di tanganmuboleh , begitu juga di kantung bajumu dan kamu simpan demi kebaikan. Adapun dalam hati jangan. Harta lewat pintu depan boleh (hala), tetapi lewat pintu belakang jangan sekalipun (haram).”
“Abdilah ALLAH Azza wa Jalla dan mohonlah pertolongan untuk memproleh rezeki yang halal. Sesungguhnya Allah Ta’ala senang dengan hamba yang beriman lagi taat, makan dari hasil kerjanya yang halal, dan membenci orang yang makan tapi tidak mau bekerja dan bergantung pada orang lain.”
Dan masih banyak ajaran – ajaran beliau yang tidak tertuang dalan tulisan yang singkat ini, pemikiran Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani banyak di pengaruhi oleh pemikiran tasawuf yang tidak lepas dari Al-Qur’an dan hadits, yang paling mendasar dalam ajaran beliau adalah larangan untuk terlalu tenggelam dalam masalah keduniawian dan penekanan pada sedekah dan kemanusiaan, konsepsi tasawuf beliau adalah konsep tasawuf yang dilandasi syari’at Ilahi.

Imam Al-Ghazali

NASIHAT –NASIHAT PENCERAH HATI IMAM AL-GHAZALI
Selain karya agung Ihya ulum Al-din, dan beberpa karya lainnya, Imam Al ghazali (1058-1111M) juga menulis sebuah kitab ber judul Ayyuhal-Wallad, sebuah risalah padat dan ringkas mengenai inti sari tassawuf, penulisan karya yang di dorong rasa gelisah dari seorang murid beliau karena ingin mengetahui dari sekian ilmu yang telah ia pelajari mana yang lebih bermanfaat untuk dirinya dalam mempersiapkan diri menghadapi hari kiamat dan mana yang yang tidak bermanfaat sehinga dapat dihindari.
Berikut beberapa petikan nasihat Imam Al-Ghazali kepada sang murid :
Anakku, tercinta,
Nasihat itu mudah, yang sulit adalh menerimanya, bagi orang yang mengikuti desakan nafsunya, nasihat akan terasa pahit, ia cenderung hal – hal yang dilarang agama apalagi bagi kaum muda yang menyia-nyiakan waktu untuk mencari kebesaran diri dan keagungan duniawi, mereka mengira tanpa tindakan nyata, ilmu pengetahuan akan mampu membawanya pada kebahagiaan dan keselamatan. Mereka tidak sadar bahwa ilmu pengetahuan yang telah d amanatkan kepadanya harus harus di amalkan, bila tidak ilmu itu hanya akan memperberat siksa yang ditimpakan kepadnya.
Anakku tercinta,
Selagi kamu tidak beramal, selama itu pula tidak akan memperoleh  pahala. Dalamsebuah riwayat diceritakan ada seorang laki-laki dari Bani Israil yang telah melakukan ibadah selama 70 tahun, lalu ALLAH mengutus seorang malaikat untuk mengabarkan bahwa kesungguhannya berubadah tidak ada kaitannya dengan imbalan masuk surge, orang itu lalu berkata,”kami diciptakan ALLAH untuk beribadah kepada-NYA, karena itu dalam beribadah kami tidaksepantasnya mengharapkan sesuati.” Sang malaikat kembali kepada ALLAH seraya berkata, “ ya Rabbi, Engkau tentu tahu apa yang dikatan hambamu itu.” ALLAH berfirman, “ Wahai malaikat, apabila ia tidak berpalingdan beribadah kepada-Ku, maka dengan sifat kemurahan-Ku Aku pun tidak akan berpaling darinya, maka saksikanlah, Wahai malaikat-Ku sesungguhnya Aku telah mengampuni dosa-dosanya.
Anakku tercinta.
Hiduplah sesukamu, tetapi ingat kelak kamu akan mati, Cintailah siapa saja yang kau suka, tetapi ingat, kamu akan berpisah darinya, berbuatlah sesukamu tetapi ingat, kamu akan memperolaeh balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu.
Anakku tercinta.
Jika kau merasa cukup memiiki ilmu pengetahuan, tanpa perlu mengamalkannya, akan sia-sialah seruan ALLAh swt, yang menyuruhmu berdoa dan bersistighfar. Para sahabat mennyebut nama Abdullah bin Umar sebagai  orang yang dekat dengan Rasulullah Saw, Rasul menyambut ucapan sahabatnya itu dan mengatakan, “ya benar, orang yang paling baik ialah Abdullah bin Umar, ia melakukan Shalat malam secara kontinyu.”
Pada suatu hari , Rasulullah Saw berkata kepada salah seorang sahabatnya, “Hai  Fullan, janganlah kamu memperbanyak tidur di malam hari, sebab itu akan membuatmu miskin di hari kiamat nanti”.
Anakku
Luqman Al-Hakim pernah berwasiat kepada anaknya,”Nak, janganlah ayam jantan lebih pandai daripada kamu, ia berkokok di waktu subuh, sedangkan kamu saat itu masih tertidur.
Anakku
Lidah yang berucap dan hati tertutup oleh kelalaian dan nafsu yang rendah merupakan tanda – tanda kemalangan yang besar. Jika nafsu tidak kamu taklukkan dengan kesungguhan, hatimu tidak akan tersinari oleh makrifat kepada ALLAH.
Anakku tercinta.
Puncak ilmu pengetahuan ialah apabila kamu mengetahui sedalam-dalamnya makna taat dan ibadah.Ketahuilah, Anakku, taat dan ibadah ialah tunduk kepada ALLAH, melaksanakan segala perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-nya, dalam perkataan dan perbuatan.

Jalaludin Rumi

Syair Jalaludin Rumi :

“Langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan. Bumi memupuk seluruh yang langit telah turunkan. Bumi kekurangan panas, langit memulihkannya. Langit berkeliling, laksana seorang suami yang mencari  nafkahdemi istriny.Sedangkan Bumi sibuk mengurusi rumah tangganya.Ia merawat yang lahir dan menyusui apa yang telah di lahirkan.Pandanglah Bumi dan langit sebagi makhluk yang di karuniai kecerdasan.Karena mereka melakukan pekerjaan makhluk yang berakal pikiran.”
“Cinta adalah warisan Sang Adam
sedangkan kecerdikan itu barang dagangan syetan
tempat si cerdik dan bijaksana bersandar pada jiwa dan akalnya
Cinta berarti penyerahan dri
karena akal bagaikan seorang perenang
yang terkadang sampai ke tepian
sering juga tenggelam di tengah jalan
Tak sebanding dengan Cinta ini
ibarat bahtera Nuh yang terselamatkan”.
 Jalaludin Rumi
ulama dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota Balkh tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini wilayah Afganistan. Ia Putra Bahauddin Walad, perbedaan pendapat antara Sultan dan Walad. Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di situ kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus, keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia Tengah, atas permintaan Sultan Seljuk Alauddin Kaykobad. Jalaludin Rumi adalah seorang teolog yang kemudian karena suatu peristiwa spiritual yang kemudian mengubahnya menjadi seorang penyair mistis.

Karya Jalaludin Rumi

Kumpulan puisi Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio.
Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai.
Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide.
Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang tampaknya berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik. Beberapa tokoh sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, namun ia menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang mencapai ma’rifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah :
jangan tanya apa agamaku. aku bukan yahudi. bukan zoroaster. bukan pula islam. karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku.

Rabi’ah Al – adawiyah

Riwayat Hidup RABI”AH AL ADAWIYAH
Rabi’ah lahir pada tahun ±714 M (95 atau 99 H) di Basrah Irak. Terlahir dari keluarga miskin ayah nya bernama Ismail, akan tetapi keluarga tersebut selalu hidup penuh dengan ketaqwaan dan iman kepada ALLAH. Abdul Mun’im Qandi menceritakan tentang kondisi kemiskinan keluarga Rabi’ah dalam penggalan cerita berikut;
“Ketika Rabi’ah baru lahir Istri Ismail meminta kepadanya untuk meminta kepada tetangga setes minyak atau sepotong kain untuk selimut anak meraka yang baru lahir,akan tetapi tak seorang tetanggapun yang mau memberikan pertoongan kepada mereka, Ismail pun menghibur istrinya “Istriku, tetangga kita sedang tidur nyenyak, bersyukurlah kepada ALLAH karena selama hayat kita belum pernah meminta – minta. Lebih baik selimuti saja anak kita dengan sepotong kain yang masih basah itu, percaya dan tawakallah kepada ALLAH, tentu Dia akan memberikan jalan keluar yang terbaik buat kita,Dan hanya Dialah yang memelihara dan memberikan kecukupan pada kita, percayalah wahai istriku tercinta.”
Rabi’ah tumbuh menjadi sosok pribadi muslimah yang Saleh dan sangat zuhud dia pernah menjadi budak dan mengerjakan berbagai pekerjaan berat, akantetapi itu sama sekali tidak mempengaruhi kadar keimannya hingga suatu malam terjadilah peristiwa yang sangat ajaib, ketika itu Rabi’ah sedang bersujud dan memanjatkan Doa, ketika dia sedang memanjatkan Do’a tuannya mendengarkan DO’a tersebut hatinya menjadi tersentuh dan ke’esokan harinya dia memanggil Rabi’ah dan membebaskannya. Setelah bebas Rabi’ah mencari  nafkah dengan bernyanyi dan bermain seruling, akan tetapi di Basrah saat itu sedang hangat-hangatnya pembahasan masalah mengenai boleh tidaknya bagi wanita untuk bernyanyi dan bermain musik, ada ulama yang memperbolehkan dan ada yang tidak, hal ini  membuat nya ragu, di tengah keraguan inilah ALAH memberikan petunjuk kepadanya bahwa kebiasaan bernyanyi dan bermain seruling bisa membawa manfaat, Rabi’ah pun memutuskan untuk bermain seruling dan bernyanyi di majelis – majelis dakwah, dan dari Majelis dakwah dan Dzikir itulah Rabi’ah banyak belajar dari guru dan ulama.
Berbagai sumber mengatakan bahwa Rabi’ah al adawiyah wafat pada tahun 185 H (801M). sedangkan makamnya tidak diketahui secara pasti, Ada yang menyebutkan ia dikuburkan Di  Al-Quds di sebuah bukit, tetapi sumber yang lebih kuat menyebutka bahwa Rabi’ah wafat di Basrah, daerah Syam.
Sebelum wafat dia sempat berpesan kepada pengikutnya sekaligus sahabatnya Abdah binti Abu Shawwal, agar kematiannya janganlah sampai menyusahkan orang lain, dan agar membungkus mayatnya dengan jubahnya.

tentang tasawuf

    Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya.
    ASAL KATA SUFI
    Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
    1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.
    2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
    3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
    4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
    5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskin
    Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya.
    ASAL KATA SUFI
    Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
    1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.
    2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
    3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
    4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
    5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
    Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H)
an dan kejauhan dari dunia.
    Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).

JALAN MENUJU ALLAH

Syari’at, Thariqat, Haqiqat


Inilah gambaran dari jalan menuju akhirat, yakni melalui syari’at, thariqat dan haqiqat. Melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi ketakwaannya dan menjauhi hawa nafsu. Tiga jalan ini secara bersama-sama menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh meninggalkan salah satu dari tiga jalan ini.
Haqiqat tanpa syari’at menjadi batal, dan syari’at tanpa haqiqat menjadi kosong. Dapat dimisalkan di sini, bahwa apabila ada orang memerintahkan sahabatnya mendirikan shalat, maka ia akan menjawab: Mengapa harus shalat? Bukankah sejak zaman azali dia sudah ditetapkan takdirnya? Apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang beruntung, tentu ia akan masuk surga walaupun tidak shalat. Sebaliknya, apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka maka, ia akan masuk neraka, walaupun mendirikan shalat.
Ini adalah contoh haqiqat tanpa syari’at.
Sedangkan syari’at tanpa haqiqat, adalah sifat orang yang beramal hanya untuk memperoleh surga. Ini adalah syari’at yang kosong, walaupun ia yakin. Bagi orang ini ada atau tidak ada syari’at sama saja keadaannya, karena masuk surga itu adalah semata-mata anugerah Allah. Syari’at adalah peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan larangan. Thariqat adalah pelaksanaan dari peraturan dan hukum Allah (syari’at). Haqiqat adalah menyelami dan mendalami apa yang tersirat dan tersurat dalam syari’at, sebagai tugas menjalankan firman Allah.
Mendalami syari’at sebagai peraturan dan hukum Allah menjadi kewajiban umat Islam terutama yang berkaitan dengan ibadah mahdlah, ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT. Seperti dalam firman: Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în yang artinya: “Hanya kepada Engkau (Allah), aku beribadah, dan hanya kepada engkau aku memohon pertolongan.” (QS. Al-Fâtihah: 4-5).
Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga haqiqat adalah usaha seorang hamba melepaskan dirinya dari kekuatannya sendiri dengan kesadaran bahwa semua kemampuan dari perbuatan yang ada padanya, hanya akan terlaksana dengan pertolongan Allah semata.
Pada dasarnya kewajiban seorang mukmin adalah melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, dengan tidak memikirkan bahwa amal perbuatannya itulah yang akan menyelamatkannya dari siksaan neraka, atau menjadikannya masuk surga. Atau ia beranggapan tanpa amal ia akan masuk neraka, atau beranggapan hanya dengan amal ia akan masuk surga.
Sebenarnya ia harus berpikir dan meyakini bahwa semua amalannya hanya semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya. Seperti firman Allah: “Fa’budillâh Mukhlishan Lahuddîn“.
Apabila Allah Ta’ala menganugerahkan pahala atas amal perbuatannya hanyalah merupakan karunia Allah belaka. Demikian juga apabila menyiksanya, maka itu semua merupakan keadilan Allah jua, yang tidak perlu dipertanyakan pertanggungjawabannya.
Hasan Basri mengatakan bahwasannya ilmu haqiqat tidak memikirkan adanya pahala atau tidak dari suatu amal perbuatan. Akan tetapi tidak berarti meninggalkan amal perbuatan atau tidak beramal.
Sayyidina Ali RA, mengatakan: Barangsiapa beranggapan, tanpa adanya perbuatan yang sungguh-sungguh, ia akan masuk surga, maka itu adalah hayalan, sedangkan orang yang beranggapan bahwa dengan amal yang sungguh-sungguh dan bersusah payah ia akan masuk surga, maka hal itu sangat sia-sia. Orang pertama adalah mutamanni dan orang yang kedua adalah muta’ anni.
Pernah dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki Yahudi dari Bani Israil, ia telah beribadah selama tujuh puluh tahun. Pada suatu saat ia memohon kepada Allah agar dia ditetapkan berada bersama-sama para malaikat. Maka Allah SWT, mengutus malaikat untuk menyampaikan kepadanya bahwa dengan ibadahnya yang sekian lama itu, tidak pantas baginya untuk masuk surga. Laki-laki ini mengatakan pula kepada malaikat itu setelah mendengar berita dari Allah SWT. “Kami diciptakan Allah di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah, maka sepantasnyalah kami berkewajiban beribadah (tunduk) kepada-Nya.
Tatkala malaikat itu kembali melaporkan apa yang didengarnya dari hamba Allah tersebut, ia berkata: “Ya Allah, Engkau lebih mengetahui apa yang diucapkan oleh laki laki tersebut.” Allah SWT pun berfirman. “Jika ia tidak berpaling dan tunduk beribadah kepada-Ku, maka dengan karunia dan kasih sayang-Ku, Aku tidak akan meninggalkannya. Saksikanlah olehmu, sesungguhnya Aku telah mengampuninya“.
Syari’at

Ibarat bahtera itulah syari’at
Ibarat samudera itulah thariqat
Ibarat mutiara itulah haqiqat.

Ungkapan dari syair di atas menjelaskan kedudukan tiga jalan menuju akhirat. Syari’at ibarat kapal, yakni sebagai instrumen mencapai tujuan. Thariqat ibarat lautan, yakni sebagai wadah yang mengantar ke tempat tujuan. Haqiqat ibarat mutiara yang sangat berharga dan banyak manfaatnya.
Untuk memperoleh mutiara haqiqat, manusia harus mengarungi lautan dengan ombak dan gelombang yang dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan itu, tidak ada jalan lain kecuali dengan kapal.
Sebagian Ulama menerangkan tiga jalan ke akhirat itu ibarat buah pala atau buah kelapa. Syari’at ibarat kulitnya, thariqat isinya dan haqiqat ibarat minyaknya. Pengertiannya ialah, minyak tidak akan diperoleh tanpa memeras isinya, dan isi tidak akan diperoleh sebelum menguliti kulit atau sabutnya.
Agama ditegakkan di atas syari’at, karena syari’at adalah peraturan dan undang-undang yang bersumber kepada wahyu Allah. Perintah dan larangannya jelas dan dijalankan untuk kesejahteraan seluruh manusia. Menurut Syaikh al-Hayyiny, syari’at dijalankan berdasarkan taklif (beban dan tanggungjawab) yang dipikul kepada orang yang telah mampu memikul beban atau tanggungjawab (mukallaf). Haqiqat adalah apa yang telah diperoleh sebagai ma’rifat. Syari’at dikukuhkan oleh haqiqat dibuktikan oleh syari’at. Adapun syari’at adalah bukti pengabdian manusia yang diwujudkan berupa ibadah, melalui wahyu yang disampaikan kepada para Rasul. Haqiqat itu sendiri merupakan bukti dari penghambaan (ibadah) manusia terhadap Allah SWT, dengan tunduk kepada hukum syari’ at tanpa perantaraan apapun.

Thariqat


Adalah thariqat itu suatu sikap hidup
Orang yang teguh pada pegangan yang genap
Ia waspada dalam ibadah yang mantap
Bersikap wara’ berperilaku dan sikap
Dengan riyadhah itulah jalan yang tetap.

Para Ulama berpendapat thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat waspada dan berhati-hati ketika beramal ibadah. Seseorang tidak begitu saja melakukan rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam menjalankan macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan melakukan rukhshah, akan tetapi sangat berhati-hati melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati itu adalah bersifat wara’.
Menurut al-Qusyairy, wara’ artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara’ adalah suatu pilihan bagi ahli thariqat.
Imam al-Ghazaly membagi sifat wara’ dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah adalah wara’ul ‘adl (wara’ orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan sesuai dengan ajaran fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang meragukan dan amal yang dianggap bertentangan atau batal.
Tingkat agak ke atas adalah wara’ush shâlihîn (wara’ orang-orang saleh). Yakni menjauhkan diri dari semua perkara subhat, seperti makanan yang tidak jelas asal usulnya, atau ragu atas suatu yang ada di tangan atau sedang dikerjakan, atau disimpan.
Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara’ul muttaqqîn (wara’ orang-orang yang takwa). Yakni meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir kalau-kalau membahayakan, atau mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang suka bermaksiat, memakai pakaian yang serupa dengan orang- orang yang berakhlak jelek, menyimpan barang-barang berbahaya atau diragukan kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram.
Tingkat yang tertinggi adalah, wara’ush shiddiqqîn (wara’ orang-orang yang jujur). Yakni menghindari sesuatu walaupun tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang mubah yang terasa syubhat.
Kisah-kisah berikut ini menunjukkan sifat-sifat orang yang wara’.
Pada masa Imam Ahmad bin Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy. Ia mempunyai saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun. Biasanya pekerjaan itu dikerjakan di loteng rumahnya. Ia bertanya kepada Imam Ahmad, “Pada suatu malam ketika ia sedang memintal benang, cahaya obor lampu orang Thahiriyah (mungkin tetangga) masuk memancar ke loteng kami. Apakah kami boleh memanfaatkan cahaya lampu obor tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan kami?” Imam Ahmad menjawab “Sungguh dari dalam rumahmu telah ada cahaya orang yang sangat wara’, maka janganlah engkau memintal benang dengan memanfaatkan cahaya obor itu“.
Abu Hurairah mengatakan: “Pada suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku. Untuk menyajikan makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan panggang. Setelah selesai menyantap makanan itu, saya ingin membersihkan tangannya dari bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah tetangga, saya mengambil debu bersih untuk membersihkan dan menghilangkan bau amis dari tangannya. Akan tetapi saya belum minta izin tetangga tersebut untuk menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali atas perbuatan saya itu empat puluh tahun lamanya“.
Dikisahkan juga bahwa ada seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin menghiasi ruangan rumah itu, lalu menuliskan khat-khat riq’i pada salah satu dindingnya. Ia berusaha menghilangkan debu-debu pada dinding rumah kontrakan itu. Karena ia merasa bahwa perbuatan itu baik dan tidak ada salahnya. Ketika ia sedang membersihkan debu-debu pada dinding rumah itu, didengarnya suara, “Hai orang yang menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami perhitungan amal yang sangat lama“.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur Makkah. Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan dua buah bejana lalu ia berkata: “Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu“. Imam Ahmad berkata, “Saya sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu“. Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: “Inilah milikmu“. Imam Ahmad berkata, “Sesungguhnya aku hanya menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi,” sambil berjalan meninggalkan tukang sayur itu.
Diriwayatkan bahwasannya Ibnu al-Mubarak pulang pergi dari Marwan ke Syam untuk mengembalikan setangkai pena, yang belum sempat dikembalikan kepada pemiliknya.
Hasan al-Bashry pernah menanyakan kepada seorang putera sahabat Ali bin Abi Thalib, ketika itu sedang bersandar di Ka’bah sambil memberi pelajaran. Hasan al-Bashry bertanya: “Apakah yang membuat agama menjadi kuat?” Dijawabnya: “yang menguatkan agama adalah sifat wara’“. “Apa yang merusak agama?” “yang merusak agama adalah tamak“. Jawaban itu mengagumkan Hasan al-Basry, lalu ia berkata “Dengan sifat wara’ yang ikhlas lebih baik dari seribu kali shalat dan puasa“.
Itulah beberapa kisah yang menghiasi akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang mengagumkan yang melekat dalam hidup mereka. Demikian juga sifat mulia para sahabat tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Kata wa-azimatun, menurut lughat, artinya cita-cita yang kuat. Maksudnya penuh kesungguhan dan sabar menghadapi bermacam-macam masalah hidup, akan tetapi kuat menghadapinya dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Demikian juga melatih diri dengan riyadlah yang dapat memperkuat ibadah dan melakukan ketaatan. Umpamanya riyadlah mengendalikan keinginan yang mubah, seperti puasa makan, minum, tidur, menahan lapar seperti puasa, sunnat, atau meninggalkan hal-hal yang kurang berguna bagi kemantapan dan konsentrasi jiwa kaum sufi.
Nabi SAW bersabda: “Cukurlah kiranya bagi manusia beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Apabila ingin lebih dari itu, hendaklah ia membagi perutnya; sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga lagi untuk bernafas“.
Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda: “Bukankah manusia itu tertelungkup dalam neraka, tidak lain karena buah omongan lisannya. Sedangkan usia manusia itu adalah modal pokok perdagangannya. Apabila disia-siakan dengan makhluk perbuatan yang tidak berguna, maka sungguh ia telah merusaknya dengan kesia-siaan“.
Oleh karena itu mengamalkan ilmu thariqat sama dengan menghindari segala macam perbuatan mubah, seperti telah dicontohkan di atas. Itulah jalan suci akan mengantarkan manusia kepada ketaatan dan kebahagiaan.
Haqiqat

Haqiqat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan
Menyaksikan cahaya nan gemerlapan
Dari ma’rifatullah yang penuh harapan

Untuk menempuh jalan menuju akhirat haqiqat adalah tonggak terakhir. Dalam haqiqat itulah manusia yang mencari dapat menemukan ma’rifatullâh. Ia menemukan hakikat yang tajalli dari kebesaran Allah Penguasa langit dan bumi.
Menurut Imam al-Ghazaly, tajalli adalah rahasia Allah berupa cahaya yang mampu membuka seluruh rahasia dan ilmu. Tajalli akan membuka rahasia yang tidak dapat dipandang oleh mata kepala. Mata hati manusia menjadi terang, sehingga dapat memandang dengan jelas semua yang tertutup rapat dari penglihatan lahiriah manusia.
Al-Qusyairi membedakan antara syari’at dan haqiqat sebagai berikut: Haqiqat adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya. Syari’at adalah kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari’at ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriyah antara manusia dengan Allah SWT .
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa, perumpamaan syari’at adalah ibarat kepala, thariqat ibarat lautan, dan haqiqat ibarat mutiara.
Seperti pada bunyi syair, “Barangsiapa yang ingin mendapatkan mutiara di dalam lautan, maka ia harus mengarungi lautan dengan menumpang kapal (ilmu syari’at), kemudian ia harus pula menyelam untuk mendapatkan perbendaharaan yang berada di kedalaman laut, yakni bernama mutiara (ilmu haqiqat)”.
Para penuntut ilmu tasawuf tidak akan mencapai kehidupan yang hakiki, kecuali telah menempuh tingkatan hidup ruhani yang tiga tersebut. Menuju kesempurnaan hidup ruhani dan jasmani yang hakiki menuju hidup akhirat yang sempurna, tiga jalan itu hendaklah ditempuh bersama-sama dan bertahap. Apabila tahap-tahap itu tidak ditempuh maka penuntut tasawuf atau mereka yang berminat mencari hidup ruhani yang tentram, tidak akan mendapatkan mutiara yang sangat mahal harganya itu.
Wajib Bersyari’at
Thariqat dan haqiqat bergantung kepada syari’at. Dua tahapan itu tidak akan berhasil ditempuh oleh para penuntut, kecuali melalui syari’at.
Dasar pokok ilmu syari’at adalah wahyu Allah yang tertulis jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebab ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah serta ibadah muamalah tercantum dengan jelas dalam ilmu syari’at.
Siapa pun tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syari’at, walaupun ia ulama sufi yang besar dan piawai, atau wali sekalipun. Orang yang menganggap dirinya tidak memerlukan syari’at untuk mencapai thariqat sangat tersesat dan menyesatkan.
Karena syari’at itu seluruhnya bermuatan ibadah dan muamalah, maka menjadi satu paduan dengan thariqat dan haqiqat. Ibadah seperti itu tidak gugur kewajibannya walaupun seseorang telah mencapai tingkat wali. Bahkan ibadah syari’atnya wajib melebihi tingkat ibadah manusia biasa. Umpamanya mutu ibadah seorang waliyullah melebihi mutu ibadah orang-orang awam. Sebagaimana Rasulullah SAW, ketika mendirikan shalat dengan penuh kekhusyuan dan begitu lama berdiri, ruku’ dan sujudnya, sehingga dua kakinya menjadi membengkak, karena dikerjakan dengan penuh kecintaan dan ketulusan.
Ketika Nabi SAW ditanya berkaitan dengan ibadahnya yang begitu hebat dan sungguh-sungguh, beliau menjawab: “Mengapa saya tidak menjadi hamba yang bersyukur?” Karena ibadah itu termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah dan semua anugerah-Nya. Maka para shufiyah atau waliyullah sekalipun tetap berkewajiban melaksanakan ibadah syari’at yang ditaklifkan kepada setiap muslimin dan muslimat. Oleh karena itu wajib bagi penuntut kehidupan akhirat dan para penuntut ilmu-ilmu Islam secara intensif mempelajari ilmu syari’at. Sebab semua ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan dunia dan akhirat, bergantung erat kepada ilmu syari’at. Ilmu tasawuf dengan pendekatan kebatinan (ruhaniyah) tetap bergantung erat dengan syari’at. Tanpa syari’at semua ilmu dan keyakinan ruhaniyah tidak ada artinya.
Hati para shufiyah akan cemerlang sinarnya dalam menempuh kehidupan ruhaniyah yang tinggi, hanya akan diperoleh dengan ilmu syari’at. Demikian juga kemaksiatan batin dan pencegahannya sudah tercantum dari teladan Nabi SAW, semuanya tercantum dalam ilmu syari’at.
Ilmu tasawuf, adalah bahagian dari akhlak mahmudah, hanya akan diperoleh dari uswah hasanah-nya Nabi Muhammad SAW. Cahaya yang bersinar dari kehidupan Nabi SAW adalah pokok dasar bagi pengembangan ilmu tasawuf atau dasar pribadi bagi para penuntut ilmu tasawuf. Menurut tuntunan Nabi SAW, hati adalah ukuran pertama penuntut ilmu tasawuf. Dengan kesucian hati dan ketulusannya melahirkan akhlak mahmudah dan mencegah akhlak mazmumah, seperti yang diajarkan dalam sunnah Nabi SAW, sebagian dari ilmu syari’at. Dengan pengertian lain, hati manusia shufiyah itu akan ditempati oleh thariqat yang berdasarkan syari’at.
Ma’rifatullah
Para ulama tasawuf dan kaum shufiyah menempuh beberapa cara untuk mecapai tingkat tertinggi dalam shufiyah, atau ma’rifatullah. Untuk mencapai ma’rifatullah ini setiap penuntut shufiyah menempuh jalan yang tidak sama. Ma’rifatullah adalah tingkat telah mencapai thariqat al-haqiqah.
Akan tetapi tidak berarti thariqat menuju ma’rifatullah itu harus secara khusyusiah, lalu menempatkan diri hanya dalam ibadah batiniyah belaka. Akan tetapi untuk mencapai tingkat thariqat ma’rifatullah itu, para penuntut dapat juga mencapai melalui berguru langsung dengan para syaikh yang mursyid.
Para syaikh yang mursyid, biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat untuk memberi petunjuk kaifiyat ibadah dan tauhid Uluhiyah yang bersih dan uswah hasanah Nabi SAW.
Imam al-Ghazaly berkata: “Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajarkan ilmunya, maka ia termasuk orang yang mendapat predikat orang mulla di kerajaan langit. Ia telah berma’rifat kepada Allah. Ia adalah ibarat matahari yang menyinari dirinya sendiri, atau laksana minyak misik yang harum yang menyebarkan keharuman disekitarnya, sedangkan ia sendiri berada dalam keharuman“.
Ketika seorang guru (da’i) sedang asyik mengajarkan ia berada dalam suasana yang agung dan suci. Oleh karena itu seorang da’i atau guru yang sedang mengajar Al Islam, hendaklah selalu menjaga kesucian dan adab-adabnya. Ada pula yang menempuh jalan zikrullah dengan mewiridkan zikir-zikir yang ma’tsur atau amalan yang bernilai ibadah, seperti membaca Al-Qur’an, bertahmid, tasbih dan tahlil. Cara ini dijalankan oleh penuntut ilmu mutajarridah (konsentrasi diri untuk semata-mata beribadah), termasuk jalan yang ditempuh oleh orang-orang saleh.
Cara lain lagi yang ditempuh ialah dengan menghidmatkan diri kepada ulama Fiqh, atau ulama tasawuf atau ulama Islam umumnya. Cara berguru, belajar dan mengajar seperti ini sangat penting dan lebih utama dari shalat sunnat. Karena perbuatan atau amal seperti itu termasuk maslahah mursalah (kepentingan umum), karena juga bernilai ibadah.
Sayyid Abdul Qadir Jailany RA, berkata: “Saya tidak akan mencapai ma’rifatullah dengan hanya qiyamullail, atau berpuasa sepanjang hari. Akan tetapi sampainya saya kepada ma’rifatullah, adalah juga dengan amalan maslahah mursalah, seperti bermurah hati dan menyantuni semua orang, tasamuh dan tawadlu’. Ada juga yang beribadah untuk membantu dan menggembirakan orang lain. Termasuk berusaha mencari nafkah, seperti mencari kayu bakar di hutan, lalu dijual dan hasilnya disedekahkan bagi kepentingan umum. Cara-cara seperti ini merupakan ibadah, selain banyak manfaatnya, juga akan mencapai ma’rifatullah karena akan memperoleh do’anya masyarakat umum dan kaum dhu’afa“.(DIkutip dari kitab kifayatul atkiya')

memahami aliran ahlisunnah waljamaah

Kalau kita mau merenungkan makna-makna dalam kalimat as sunnah dan makna-makna dalam kalimat al jama’ah, seperti yang disinggung dalam beberapa nash syari’at, dan seperti yang diungkapkan serta dipahami oleh para salafus saleh, kita akan tahu dengan jelas bahwa hal itu hanya cocok dan sesuai dengan golongan ahli sunnah wal jama’ah.
Siapa sebenarnya mereka? Apa sifat-sifat mereka? Dan apa manhaj mereka? Berdasarkan hal itu kita bisa mengidentifikasi siapa sejatinya ahli sunnah wal jama’ah dari beberapa segi sekitar yang menyangkut sifat-sifat mereka, ciri-ciri mereka, manhaj mereka, dan definisi mereka menurut kaca mata orang-orang salafus saleh bahwa yang dimaksud ialah mereka. Sebab, pemilik rumah itu jelas yang paling tahu isi rumahnya, dan walikota itu yang paling tahu rakyatnya.
Di antara segi tinjauan yang memungkinkan kita bisa mengetahui siapa ahlu sunnah wal jama’ah itu ialah:
Pertama, sesungguhnya mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah ahli sunnah, yakni orang-orang yang mengajarkannya, menjaganya, mengamalkannya, mengutipnya, dan membawanya baik dalam bentuk riwayat atau dirayat atau manhaj. Jadi merekalah yang paling dahulu mengenal sekaligus mengamalkan as sunnah.
Kedua, selanjutnya ialah para pengikut sahabat Rasaulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah yang menerima tongkat estafet agama dari para sahabat, yang mengutip, yang mengetahui, dan yang mengamalkannya. Mereka adalah para tabi’in dan generasi yang hidup sesudah mereka, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat kelak. Mereka itulah sejatinya ahli sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka berpegang teguh padanya, tidak membikin bid’ah macam-macam, dan tidak mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman.
Ketiga, ahli sunnah wal jama’ah, mereka adalah para salafus saleh, yakni orang-orang yang setia pada Al Qur’an dan as sunnah, yang konsisten mengamalkan petunjuk Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang mengikuti jejak langkah peninggalan para sahabat, para tabi’in, dan pemimpin-pemimpin pembawa petunjuk umat, yang jadi tokoh panutan dalam urusan agama, yang tidak membikin bid’ah macam-macam, yang tidak menggantinya, dan yang tidak mengada-adakan sesuatu yang tidak ada dalam agama Allah.
Keempat, ahli sunnah wal jama’ah ialah satu-satunya golongan yang berjaya dan mendapat pertolongan Allah sampai hari kiamat nanti, karena merekalah yang memang cocok dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
Ada segolongan dari umatku yang selalu membela kebenaran. Mereka tidak merasa terkena mudharat orang-orang yang tidak mendukung mereka sampai datang urusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu..
Dalam satu lafazh disebutkan:
Ada segolongan umatku yang senantiasa menegakkan perintah Allah….
Kelima, mereka adalah orang-orang yang menjadi asing atau aneh ketika dimana-mana banyak orang yang suka mengumbar hawa nafsu, berbagai kesesatan merajalela, bermacam-macam perbuatan bid’ah sangat marak, dan zaman sudah rusak. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
Semula Islam itu asing dan akan kembali asing. Sungguh beruntung orang-orang yang asing.
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
Sungguh beruntung orang-orang yang asing, yakni beberapa orang saleh yang hidup di tengah-tengah banyak manusia yang jahat. Lebih banyak orang yang memusuhi mereka daripada yang taat kepada mereka.
Sifat tersebut cocok dengan ahli sunnah wal jama’ah.
Keenam, mereka adalah para ahli hadist, baik riwayat maupun dirayat. Karena itulah kita melihat para tokoh kaum salaf menafsiri al tha’ifat al manshurat dan al firqat al najiyat, yakni orang-orang ahli sunnah wal jama’ah, bahwa mereka adalah para ahli hadist. Hal itu berdasarkan riwayat dari Ibnu Al Mubarak, Ahmad bin Hambal, Al Bukhari, Ibnu Al Madini, dan Ahmad bin Sinan. Ini benar, karena para ahli hadist lah yang layak menyandang sifat tersebut, mereka adalah para pemimpin ahli sunnah.
Mengomentari kalimat al tha’ifat al manshurat Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Kalau yang dimaksud dengan mereka bukan ahli hadist, saya tidak tahu lalu siapa lagi?!”
Al Qadhi Iyadh mengatakan: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan mereka oleh Imam Ahmad ialah ahli sunnah wal jama’ah, dan orang yang percaya pada madzhab ahli hadist.”
Menurut saya, seluruh kaum muslimin yang tetap berpegang pada fitrah aslinya dan tidak suka menuruti keinginan-keinginan nafsu serta tidak suka membikin berbagai macam bid’ah, mereka adalah ahli sunnah. Mereka mengikuti jejak langkah ulama-ulama mereka berdasarkan petunjuk yang benar.

Kenapa Dinamakan Ahli Sunnah Wal Jama’ah?
Dinamakan ahli sunnah, karena mereka adalah orang-orang yang berpegang pada sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, “Kalian harus berpegang teguh pada sunnahku.
Adapun as sunnah ialah, syara’ atau agama, dan petunjuk lahir batin yang diterima oleh sahabat dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, lalu diterima oleh para tabi’in dari mereka, kemudian diikuti oleh para pemimpin umat dan ulama-ulama yang adil yang menjadi tokoh panutan, dan oleh orang-orang yang menempuh jalan mereka sampai hari kiamat nanti.
Berdasarkan hal inilah maka orang yang benar-benar mengikuti as sunnah disebut sebagai ahli sunnah. Merekalah yang sosok dengan kenyataan tersebut.
Sementara nama al jama’ah, karena mereka berpegang pada pesan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam untuk setia pada jama’ah atau kebersamaan. Mereka bersama-sama sepakat atas kebenaran, dan berpegang teguh padanya. Mereka mengikuti jejak langkah jama’ah kaum muslimin yang berpegang teguh pada as sunnah dari generasi sahabat, tabi’in, dan para pengikut mereka. Mengingat mereka bersama-sama bersatu dalam kebenaran, bersama-sama bersatu ikut pada jama’ah, bersama-sama bersatu taat pada pemimpin mereka, bersama-sama bersatu melakukan jihad, bersama-sama bersatu tunduk kepada para penguasa kaum muslimin, bersama-sama bersatu mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, bersama-sama bersatu mengikuti as sunnah, dan bersama-sama bersatu meninggalkan berbagai perbuatan bid’ah, perbuatan yang terdorong oleh keinginan-keinginan nafsu, serta perbuatan yang mengundang perpecahan, maka merekalah jama’ah sejati yang mendapat perhatian Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.
Terakhir kita sampai pada sebuah kesimpulan yang konkrit bahwa nama dan sifat ahli sunnah wal jama’ah adalah istilah yang bersumber:
Pertama, dari sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam ketika beliau menyuruh dan berpesan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh padanya, sebagaiman sabda beliau, “Berpegang teguhlah kalian pada sunnahku”, ketika beliau menyuruh dan berpesan kepada mereka untuk setia pada jama’ah, dan melarang menentang serta memisahkan diri darinya. Jadi nama ahli sunnah wal jama’ah adalah nama pemberian Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Beliaulah yang menyebut mereka seperti itu.
Kedua, dari peninggalan sahabat dan para salafus saleh yang hidup pada kurun berikutnya. Peninggalan tersebut menyangkut ucapan, sifat, dan tingkah laku mereka. Nama itu sudah mereka sepakati bersama dan menjadi sifat para pengikutnya. Peninggalan-peninggalan mereka itu ada pada karya-karya mereka yang tertulis dalam kitab-kitab hadist dan atsar.
Ketiga, istilah ahli sunnah wal jama’ah adalah keterangan syari’at yang didukung dengan kenyataan yang benar-benar ada. Istilah itu membedakan antara orang-orang yang setia pada kebenaran dari orang-orang yang suka membikin bid’ah dan menuruti keinginan-keinginan hawa nafsu. Ini berbeda dengan anggapan sementara orang yang mengatakan, bahwa ahli sunnah wal jama’ah adalah sebuah nama yang muncul di tengah perjalanan zaman. Nama ini baru ada di trngah-tengah perpecahan kaum muslimin. Padahal sebenarnya tidak begitu. Itu anggapan yang keliru. Ahli sunnah wal jama’ah adalah istilah atau nama ala syari’at yang berasal dari kaum salaf umat Islam. Artinya, ia sudah ada semenjak zaman sahabat dan para tabi’in yang hidup pada periode-periode awal Islam.
Mengenai anggapan sementara orang yang sudah menjadi budak nafsu bahwa ahli sunnah itu hanya terbatas pada orang-orang salaf mereka saja, dan bahwa yang dimaksud dengan salafus saleh adalah orang-orang yang mengikuti madzhab mereka, itu memang benar. Anggapan tersebut tidak keliru, karena salafus saleh memang ahli sunnah. Begitu pula sebaliknya, baik ditinjau dari pengertian syari’at maupun kenyataannya, sebagaimana yang sudah saya kemukakan di atas. Jadi siapa yang tidak mengikuti madzhab salaf dan tidak menempuh manhaj serta jalan mereka, berarti ia telah memisahkan dari as sunnah dan jama’ah.
Perlu kita katakan kepada orang-orang sesat yang meng-ingkari as sunnah dan para pengikutnya, bahwa itulah yang dimaksud as sunnah, dan mereka itulah para pengikutnya yang bernama ahli sunnah wal jama’ah. Jika kita berpaling dan menolak ucapan yang benar ini, maka kita hanya bisa mengingatkan mereka apa yang pernah dikatakan oleh Nabi Nuh alaihi salam kepada orang-orang yang berpaling dari seruan dakwahnya, seperti yang tertuang dalam firman Allah Ta’ala ini:  
Berkata Nuh, ‘Hai kaumku, bagaiman pikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberi-Nya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apakah akan kamu paksakan kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?

Apakah Mereka Dibatasi Oleh Ruang dan Waktu?
Ahli sunnah wal jama’ah itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka banyak terdapat di sebuah negara, namun sedikit di negara lainnya. Mereka terdapat banyak pada suatu kurun zaman, tetapi hanya sedikit pada kurun zaman yang lain. Tetapi yang jelas mereka selalu ada di mana dan kapan saja.
Di tengah-tengah mereka terdapat tokoh-tokoh terkemuka yang menjadi pelita kegelapan dan hujjah Allah terhadap makhluk-Nya hingga hari kiamat nanti. Dan karena jasa merekalah terwujud janji Allah yang akan menjaga agama ini.
Dengan demikian jelaslah siapa sebenarnya ahli sunnah wal jama’ah? Siapa itu salafus saleh? Pernyataan golongan-golongan tertentu yang mengaku sebagai ahli sunnah wal jama’ah tetapi nyatanya mereka justru memisahkan diri dari as sunnah dan jama’ah, serta menyerang para salafus saleh  atau sebagian dari mereka, adalah pernyataan yang ditolak berdasarkan ketentuan-ketentuan syari’at, dasar-dasar ilmiah, dan fakta-fakta sejarah.
Demikian pula harus ditolak pengakuan-pengakuan bahwa seluruh kaum muslimin itu setia pada sunnah. Pengakuan seperti itu selain mendustakan berita dari Allah dan Rasul utusan-Nya shalallahu alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa ada perpecahan, juga berlawanan dengan kenyataan yang ada.
Demikian pula dengan pernyataan dan pengakuan-pengakuan lainnya.
Berdasarkan hal itu, maka sesungguhnya as sunnah bukanlah partai atau semboyan atau aliran yang dianut secara fanatik. Tetapi ia merupakan warisan peninggalan Nabi, mtode yang benar, jalan yang lurus tali yang kuat, dan jalan orang-orang beriman yang terang seterang siang. Siapa yang berpaling darinya pasti ia akabanner_alm.jpgn celaka.[dari kitab aswaja hal 1-20]

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More