Term kitab kuning bukan merupakan istilah untuk kitab yang kertasnya kuning saja, akan tetapi ia merupakan istilah untuk kitab yang dikarang oleh para cendekiawan masa silam. Istilah tersebut digunakan karena mayoritas kitab klasik menggunakan kertas kuning, namun belakangan ini penerbit-penerbit banyak yang menggunakan kertas putih. Yang pasti, istilah tersebut digunakan untuk produk pemikiran salaf. Sementara itu, produk pemikiran salaf dikalangan akdemisi lebih populer dengan sebutan turats.
Pada kurun berikutnya, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali (w.505 H) berhasil mengguncang dunia filsafat melalui bukunya yang bejudul Tahafut al Falasifah. Dengan sangat rasional beliau mengungkap kerancuan pemikiran para filosof terutama pemikiran al Farabi dan Ibnu Sina. Namun kritikan tajam dari Ghazali terhadap para filosof ini mendapatkan serangan balik dari Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd (w. 595 H) melalui Tahafut al Tahafut. Dalam pandangan Ibnu Rusyd, Ghazali dinilai kurang tepat dalam menguak sisi fatalitas pemikiran para filosof karena Ghazali pada dasarnya hanya bersandar pada dua pemikiran yakni al Farabi dan Ibnu Sina, bukan pada akarnya, yakni filsafat Yunani. Dalam hal, ini Ibnu Rusyd adalah sosok yang melakukan apologi (pembelaan) sekaligus purifikasi (pemurnian) filsafat Aristoteles yang tercemar dan terkaburkan oleh pendapat Ibnu Sina. Bahkan Ibnu Rusyd berusaha untuk mengharmoniskan hubungan antara filsafat dan agama.
Silang pendapat juga tumbuh subur di ranah hukum Islam (fikih). Gesekan-gesekan banyak terjadi pada pentolan dan pendiri madzhab seperti Syafi’i, Maliki dan imam-imam yang lain. Dalam tubuh sebuah madzhab juga kerap terjadi benturan ide sebagaimana yang ada dalam kubu Syafi’iyah seperti al Nawawi dengan al Rafi’i. Namun perlu diingat bahwa perbedaan bukan berarti permusuhan. Beragam pendapat yang muncul disikapi oleh para pemikir klasik dengan penuh kedewasaan sehingga dengan perbedaan justru benar-benar membawa rahmat.
Berbicara soal ilmu pengetahuan, ada baiknya kita tengok kembali gagasan Ghazali dalam al Mustashfa fi ’Ilm al Ushul -buku tentang teori hukum Islam (ushul fikih). Dalam prolog (khutbah al kitab) buku tersebut, Hujjatul Islam memetakan ilmu menjadi tiga macam. Pertama, ilmu rasional murni (’aqli mahdh) seperti matematika (al hisab), arsitektur (al handasah) dan astrologi (al nujum). Agama tidak menganjurkan untuk mempelajari ilmu jenis ini. Ilmu ini sebagian mengandung kebenaran dan sebagian yang lain hanyalah spekulasi yang tak berdasar. Dalam kacamata Ghazali, ilmu ini tidak berguna karena hanya terkait erat dengan kehidupan dunia yang fana. Ilmu bisa dikatakan bermanfaat bukanlah ilmu yang hanya berorientasi pada kenikmatan dan kegemilangan masa depan, melainkan diukur dengan kemampuannya mengantarkan kepada kebahagian akhirat yang abadi.
Kedua, ilmu yang murni hanya merujuk pada sumber-sumber terdahulu (naqli mahdh). Contoh ilmu ini adalah ilmu hadis, tafsir dan yang sejenis. Ilmu hadis dan tafsir diperoleh dari sahabat, tabi’in dan orang-orang zaman dahulu. Untuk mengkaji ilmu jenis ini sangat mudah sebab orang muda dan tua dapat menguasai dengan gampang asalkan memiliki daya ingat yang tajam (quwwat al hifdzi), sementara rasio tidak begitu berperan di bidang ini.
Pengarang buku Ihya’ Ulumuddin ini menambahkan argumen bahwa ilmu-ilmu semacam itu tidak dilandaskan pada taklid semata yang menjadi ciri khas ilmu naqli begitu pula tidak bersandar pada akal murni. Upaya peniruan secara membabi buta ditolak oleh akal, sementara berpegang pada akal semata tidak dibenarkan agama. Dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu yang paling unggul adalah ilmu yang berdiri ditengah-tengah antara akal dan wahyu.
Di samping langkah-langkah di atas, pemerhati kajian kitab kuning hendaknya membekali dengan ilmu penunjang yakni logika (mantiq). Ilmu anggitan Aristoteles ini tampaknya kurang mendapatkan perhatian, padahal ilmu tersebut dapat mempertajam rasionalitas dan menumbuhkan daya nalar yang kreatif. Imam Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Hazm dan ulama salaf lainnya adalah pakar filsafat Islam disamping menguasai ilmu-ilmu keIslaman.
Kita ini ibarat anak saudagar kaya yang diwarisi ratusan perusahaan besar oleh bapaknya. Akan tetapi apabila kita tidak mampu memperbaharui sistem, meingkatkan produktifitas, kreatif dalam merespons dinamika zaman, lambat laun produk perusahaan tidak laku dan tidak menarik konsumen. Akhir cerita perusahaan yang besar itu akan mati meninggalkan seribu kisah manis.
Dengan pendekatan-pendekatan di atas untuk memahami kitab kuning, Insya Allah kitab kuning akan senantiasa aktual, up to date dan layak pakai sepanjang masa. Dengan berbekal pendekatan tekstual dan pemahaman yang lugu justru akan menjadikan kitab kuning hanya sekedar bundelan kertas peninggalan ratusan tahun silam.
Realitas mengatakan bahwa yang berhasil menjadi pemikir-pemikir besar Islam Indonesia adalah mereka yang betul-betul mampu mengusai khazanah Islam klasik dengan baik. Tokoh seperti Sahal Mahfudz, Quraisy Syihab, Said Aqil Siraj dll adalah tokoh-tokoh yang berlatar belakang pendidikan pesantren dan kitab kuning. Penulis sangat yakin bahwa orang yang mampu mengusai kitab kuning dengan sempurna adalah orang yang layak meneruskan estafet intelektual pemikiran Islam masa depan. Selamat bergumul dengan kitab kuning dan berhadapan dengan arus modernitas serta tantangan zaman.